Prof. Riyanarto Sarno di Al- Zaytun: Dari Artificial Intelligence hingga Indonesia Emas
Dari Kelas hingga Laboratorium: Perjalanan Ilmuwan Brilian
oleh Ali Aminulloh
pkbmal-zaytun.sch.id, Indonesia – Ahad, 7 September 2025 merupakan hari istimewa bagi civitas kampus Al Zaytun. Hari itu dalam sesi 14 Pelatihan Pelaku Didik Al Zaytun, hadir Ilmuwan dunia, asal Surabaya, Prof. Drs. Ec. Ir. Riyanarto Sarno, M.Sc., Ph.D. Beliau adalah sosok akademisi yang perjalanan ilmunya berawal dari ruang kelas hingga laboratorium riset tingkat dunia. Lulusan Teknik Elektro ITB ini awalnya menekuni teori kontrol, namun kemudian melanjutkan pendidikan di bidang ekonomi hingga informatika. Sejak 1986, ia mengabdi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, dengan misi besar: mendirikan program studi S1 Ilmu Komputer.
Sejak itu, Prof. Riyanarto tidak berhenti berkarya. Ia meyakini riset bukan sekadar berhenti pada publikasi, tetapi harus hadir dalam bentuk aplikasi nyata yang bermanfaat bagi masyarakat. Filosofinya sederhana: “Ilmu harus dihilirkan, bukan hanya ditumpuk di menara gading.”
Inovasi untuk Kehidupan: Dari Otak hingga Keringat
Beragam inovasi lahir dari tangan dinginnya. Dalam bidang kedokteran, ia mengembangkan alat navigasi operasi otak dengan presisi tinggi yang bahkan lebih akurat dari produk buatan Jerman dan Swedia. Ia juga menciptakan buku anatomi berbasis virtual reality untuk memudahkan mahasiswa kedokteran belajar tanpa bergantung pada mayat.
Tak berhenti di situ, pandemi COVID-19 melahirkan ide gila tapi jenius: alat deteksi COVID berbasis bau keringat ketiak. Terinspirasi dari anjing pelacak di bandara Dubai, Prof. Riyanarto menciptakan InnoC19, perangkat murah dan cepat yang kemudian dikembangkan juga untuk mendeteksi TBC. “Tugas seorang pakar adalah membuat sesuatu yang mahal dan lama menjadi murah dan cepat,” tegasnya.
Ia bahkan meneliti kaitan gelombang otak dengan emosi. Dari musik dangdut hingga khutbah agama, ia mencoba merekam mengapa sebagian suara mampu menggugah perasaan, sementara yang lain membuat pendengar mengantuk. Inovasi ini membuka jalan bagi intervensi pembelajaran berbasis suara, bau, dan visual.
Hilirisasi Riset dan Lembah Kematian
Dalam pandangannya, riset Indonesia kerap berhenti di tataran fundamental. Banyak karya besar berakhir hanya sebagai publikasi tanpa pernah masuk industri. Prof. Riyanarto menyebut fenomena ini sebagai “lembah kematian inovasi”.
Ia menekankan pentingnya hilirisasi riset: agar penelitian dosen tidak hanya menjadi bahan kenaikan pangkat, tetapi juga menghasilkan paten dan produk nyata. Contoh nyatanya adalah ketika ia berhasil menciptakan perangkat operasi otak dengan biaya lebih murah, atau ketika ia mengembangkan electronic nose untuk mendeteksi logam berat, mikroplastik, hingga kualitas kopi dan teh.
“Setiap pagi kita berdoa memohon ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima. Itu artinya kita dituntut menghilirkan ilmu menjadi karya nyata,” ujarnya.
Pendidikan sebagai Kunci Indonesia Emas
Bagi Prof. Riyanarto, ujung tombak kemajuan bangsa adalah pendidikan. Ia mengutip Lee Kuan Yew dan Kaisar Hirohito sebagai contoh: membangun bangsa dimulai dari guru dan pendidikan. Namun, ia prihatin karena sistem pendidikan Indonesia masih terlalu fokus pada hafalan.
Ia mendorong agar soal ujian naik ke level analisis dan kreativitas. ChatGPT atau open book exam bukan ancaman, melainkan tantangan untuk berpikir kritis. “Kalau hanya hafalan, mahasiswa akan ngerpek (buat contekan). Tapi kalau ditanya analisis dan kreativitas, mereka akan terlatih berpikir,” tegasnya.
Lebih jauh, ia melihat Indonesia masih tertinggal dalam jumlah paten dibanding Singapura yang jauh lebih kecil. Karena itu, generasi muda didorong untuk berani riset, berani berbeda, dan menciptakan solusi nyata. “Riset bukan sesuatu yang mewah, tapi bagian dari kehidupan sehari-hari,” katanya penuh semangat.
Epilog: Dari Laboratorium ke Harapan Bangsa
Kisah Prof. Riyanarto Sarno adalah bukti bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti di ruang kelas atau lembar jurnal. Dari laboratorium kecil hingga panggung dunia, ia mengajarkan bahwa inovasi lahir dari keberanian berpikir di luar kebiasaan dan tekad untuk memberi manfaat nyata.
Bagi generasi muda Indonesia, pesan beliau jelas: jangan takut riset, jangan berhenti di teori. Dari kopi, teh, hingga operasi otak, dari pertanian hingga teknologi digital—semua bisa menjadi pintu menuju Indonesia Emas.
Seperti pantun penutup dari acara itu:
“Bangkitlah para pemuda bangsa Indonesia,
karena Indonesia emas ada di tangan kita.”